Oleh : Frederick Gustama Makagansa
Dalam diskursus kebijakan publik, keputusan presiden untuk memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pensiunan sering kali ditafsirkan dalam kerangka ekonomi makro sebagai stimulus konsumsi. Namun, pendekatan ini terlalu sempit jika hanya direduksi pada aspek perputaran uang semata. Lebih dari itu, kebijakan ini harus dibaca sebagai langkah strategis dalam membangun konsolidasi negara, memperkuat stabilitas sosial, dan menegaskan peran birokrasi sebagai fondasi keberlanjutan institusi kenegaraan.
Ada kecenderungan dalam wacana publik untuk menilai birokrasi dari sudut pandang efisiensi sebagaimana dalam korporasi. Perspektif ini problematis karena ia mengabaikan realitas bahwa negara bukanlah entitas bisnis yang hanya mengejar rasionalitas ekonomis dalam bentuk profit dan optimalisasi biaya. Negara adalah entitas politik, sosial, dan kultural yang bertumpu pada daya jangkau ke seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, keberadaan ASN bukan sekadar biaya yang harus diminimalisasi, melainkan infrastruktur strategis yang menopang kedaulatan dan keutuhan bangsa.
- ASN sebagai Pilar Negara dan Paradoks Efisiensi.
Dalam filsafat politik, negara adalah entitas yang harus menjalankan tiga fungsi utama: menegakkan hukum, mendistribusikan kesejahteraan, dan memastikan keberlanjutan sistem sosial. ASN adalah instrumen utama dalam menjalankan ketiga fungsi ini. Namun, dalam kerangka neoliberal yang mendominasi wacana ekonomi global, ASN sering diposisikan sebagai beban anggaran yang harus dipangkas atas nama efisiensi.
Paradoksnya, efisiensi dalam konteks birokrasi tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas. Memangkas birokrasi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dapat merusak stabilitas administratif dan melemahkan kapasitas negara dalam memberikan pelayanan publik. Efisiensi yang diterapkan secara serampangan justru bisa menciptakan disfungsi institusional, di mana negara kehilangan kendali atas sistem yang seharusnya menopang keberlanjutannya sendiri.
Dalam konteks ini, pemberian THR bukanlah sekadar kebijakan fiskal, melainkan strategi penguatan loyalitas dan moralitas ASN. Negara yang menghargai aparaturnya adalah negara yang memahami bahwa stabilitas politik tidak hanya dibangun melalui kekuatan hukum dan militer, tetapi juga melalui kesejahteraan sosial yang meresap ke dalam tubuh birokrasi.
- Konsolidasi Negara: Membangun Legitimasi dan Loyalitas
Konsolidasi negara adalah proses di mana pemerintah membangun legitimasi di mata rakyatnya, baik melalui mekanisme hukum maupun kebijakan yang mencerminkan kehadiran negara dalam kehidupan sosial-ekonomi. Dalam banyak kasus, negara-negara yang gagal menjaga kesejahteraan birokrasi akhirnya mengalami krisis legitimasi yang berujung pada ketidakstabilan politik.
Sejarah mencatat bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan keruntuhan berbagai rezim adalah demoralisasi birokrasi. Ketika aparat negara merasa ditinggalkan, mereka kehilangan insentif untuk menjaga kelangsungan sistem. Dalam konteks Indonesia, di mana birokrasi masih menjadi pilar utama dalam distribusi sumber daya, memastikan kesejahteraan ASN adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas politik dan administratif.
Pemberian THR bukan hanya soal memastikan daya beli ASN tetap tinggi, tetapi juga menciptakan sinyal politik bahwa negara tetap hadir dalam kehidupan mereka. Ini adalah bentuk komunikasi simbolis yang memperkuat kohesi sosial antara pemerintah dan aparatur yang menjalankan roda pemerintahan. Dengan demikian, kebijakan ini berfungsi sebagai alat konsolidasi negara yang memperkuat legitimasi pemerintahan di mata aparatur dan masyarakat luas.
- ASN dan Logika Padat Karya: Melampaui Perspektif Ekonomi Swasta
Salah satu kekeliruan konseptual dalam melihat birokrasi adalah kecenderungan untuk menerapkannya dalam logika efisiensi sebagaimana sektor swasta. Dalam dunia bisnis, efisiensi berarti meminimalkan biaya dan memaksimalkan keuntungan. Namun, dalam dunia birokrasi, efisiensi tidak bisa diterjemahkan dengan cara yang sama karena birokrasi bukanlah entitas yang berorientasi laba, melainkan alat negara untuk menjangkau seluas-luasnya rakyat.
Dalam ekonomi politik, birokrasi dapat dipahami sebagai mekanisme padat karya, yang berarti keberadaannya dirancang untuk menyerap tenaga kerja dan mendistribusikan kesejahteraan. ASN bukan sekadar pekerja administratif, tetapi bagian dari ekosistem ekonomi yang mengalirkan sumber daya ke berbagai sektor. Gaji dan tunjangan mereka bukan hanya sekadar angka dalam APBN, tetapi juga stimulus bagi perekonomian nasional melalui konsumsi rumah tangga, investasi sektor jasa, dan perputaran ekonomi lokal.
Dalam konteks ini, kebijakan THR menciptakan efek domino yang menjangkau berbagai lapisan ekonomi, dari sektor formal hingga informal. Dengan jumlah ASN yang besar, dana yang disalurkan melalui THR akan beredar dengan ekosistem ekonomi yang lebih luas, menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih merata.
- Mewujudkan Efektivitas tanpa mengorbankan stabilitas.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa birokrasi sering kali berjalan kurang efektif karena mekanisme penganggaran yang lebih berorientasi pada kebutuhan internal organisasi ketimbang kepentingan rakyat. Ini adalah tantangan mendasar dalam tata kelola pemerintahan: bagaimana memastikan bahwa alokasi anggaran tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan administratif, tetapi benar-benar menciptakan dampak positif bagi masyarakat luas.
Reformasi Birokrasi yang ideal bukanlah sekedar soal pemangkasan jumlah ASN atau pengurangan anggaran, tetapi soal bagaimana menciptakan sistem yang lebih responsif, akuntabel, dan berbasis kinerja. Untuk itu beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan adalah:
A. Penyusunan anggaran berbasis kebutuhan publik,bukan sekedar pemenuhan struktur organisasi.
B. Peningkatan akuntabilitas ASN, dengan sistem evaluasi yang berbasis dampak nyata terhadap pelayanan publik.
C. Penguatan kesejahteraan yang seimbang dengan peningkatan profesionalisme, sehingga birokrasi tidak hanya menikmati hak,tetapi juga memenuhi kewajibannya dengan standar yang lebih tinggi.
D. Pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi administratif sehingga birokrasi bisa bekerja lebih cepat dan tepat guna tanpa kehilangan aspek padat karya yang menjadi salah satu fungsinya.
- Menuju Negara yang berdaya guna dan tepat guna:
Negara yang kuat adalah negara yang memiliki birokrasi yang berfungsi dengan baik, bukan sekedar birokrasi paling murah. Keputusan untuk memberikan THR kepada ASN,TNI Polri dan pensiunan harus dibaca dalam kerangka yang lebih luas sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk menjaga stabilitas sosial, meningkatkan moral aparatur,dan memperkuat daya tahan ekonomi nasional. Alih- alih memandang birokrasi sebagai beban, kita harus melihatnya sebagai investasi dalam keberlanjutan negara.
Negara yang mengabaikan kesejahteraan aparatur sipilnya akan menghadapi risiko instabilitas administratif yang pada akhirnya menganggu jalannya pemerintahan. Oleh karena itu, tantangan ke depan bukanlah sekadar bagaimana menciptakan tata kelola yang tidak hanya efisien dalam angka, tetapi juga efektif dalam dampak, sehingga menghasilkan pemerintahan yang berdaya guna dan tepat guna bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Tinggalkan Balasan